Istri Bekerja di Luar Rumah

Oleh A. Fatih Syuhud
Ditulis untuk Buletin El-Ukhuwah
PP Al-Khoirot Putri Malang

Saat ini seorang istri yang bekerja di luar rumah menjadi fenomena yang biasa. Bukan saja dibolehkan oleh negara dan tradisi, bahkan dianjurkan sebagai wujud dari emansipasi dan pemberdayaan perempuan dua hal yang menjadi slogan yang giat dikampanyekan oleh para aktifis perempuan.

Bagi seorang muslim yang taat dan ingin semua aktifitas kesehariannya sesuai dengan Islam tentu tidak mudah menerima sebuah tren yang sedang terjadi tanpa mempertimbangkan lebih dahulu hukum halal dan haramnya menurut pandangan Islam. Karena, apalah gunanya bekerja dan mendapat penghasilan apabila semua itu ternyata melanggar aturan yang ditentukan oleh Allah.

Tidak ada pembahasan yang khusus dalam Al-Quran dan hadits tentang boleh atau tidaknya seorang istri bekerja di luar rumah. Oleh karena itu para ulama berbeda pendapat tentang masalah ini. Muhamad Shalih Al-Utsaimin, seorang ulama ahli fiqih Arab Saudi yang dikenal konservatif, menyatakan bahwa perempuan idealnya berada di rumah hal ini berdasarkan pada QS Al-Ahzab 33:33. Kalau toh harus bekerja maka hendaknya mengikuti aturan yang cukup ketat antara lain (a) untuk memenuhi kebutuhan dasar; (b) tempat kerjanya harus khusus untuk wanita, tidak boleh campur dengan lelaki; (c) harus berjilbab; (d) keluar ke tempat kerja harus ditemani mahram; (e) saat keluar kerja tidak boleh melakukan perbuatan haram seperti khalwat (berduaan) dengan supir dan memakai parfum.

Sementara Yusuf Qardhawi, ulama asal Mesir yang relatif moderat, menyatakan bahwa perempuan pada dasarnya boleh bekerja di luar rumah bahkan wajib dalam kondisi tertentu apabila ia satu-satunya tulang punggung keluarga. Namun demikian Qaradawi juga membuat tiga persyaratan bagi wanita yang bekerja di luar rumah agar sesuai dengan koridor syariah.

Pertama, melakukan pekerjaan halal. Maksudnya, pekerjaan itu sendiri tidak haram atau tidak mengarah pada perilaku haram seperti (a) bekerja sebagai pembantu laki-laki duda; (b) sebagai sekretaris yang sering berduaan dengan bosnya; (c) sebagai pramusaji di bar yang menjual minuman keras (miras); (d) sebagai pramugari pesawat yang harus menyediakan minuman beralkohol pada penumpang yang meminta.

Kedua, berperilaku sebagaimana seharusnya wanita muslimah dalam berpakaian, berjalan dan berbicara (QS An-Nur 24:31; Al Ahzab 33:32).

Ketiga, pekerjaan yang dilakukan tidak boleh menelantarkan kewajiban lain yang justru menjadi kewajiban dasar dan utama yakni kewajibannya terhadap suami dan pendidikan anaknya.

Saya ingin menambahkan syarat keempat, yaitu istri yang bekerja di luar rumah agar memiliki niat dan komitmen yang sangat kuat untuk tetap setia kepada suami dan menghindari serta melawan setiap godaan dari lelaki lain..

Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa wanita umumnya atau istri secara khusus boleh bekerja di luar rumah terutama bagi keluarga atau rumah tangga miskin untuk mencari nafkah dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar kehidupan dan membantu suami, namun tetap harus mengikuti koridor atau aturan syariah dan selektif dalam memilih pekerjaan agar tidak terperosok ke dalam perbuatan yang diharamkan.

Kendati sudah memenuhi ketiga syarat di atas (versi Qardhawi), bekerja di luar rumah hendaknya dijadikan pilihan kedua atau pilihan darurat karena pada kenyataannya banyak keretakan rumah tangga berawal dari istri yang bekerja di luar rumah Membuka usaha sendiri di rumah sebaiknya menjadi pilihan utama bagi seorang istri yang ingin membantu suaminya dalam pengelolaan rumah tangga di satu sisi dan untuk menghindari fitnah dan potensi konflik keluarga di sisi yang lain. []

Leave a comment